Salimin
Bangsal menapaki lereng hingga gubuk kecil ujung bukit, tempat dia dulu pernah
bersama Jamilah ketika Ramadan menunggu maghrib. Di tangannya sebuah lipatan
ungu, lembaran surat dari Jamilah :
"Kang Salimin, mungkin kakang berpikiran aku menghindar karena tak lagi
mencintaimu. Itu keliru. Aku menghindar agar kita tak lagi terbebani, karena
aku sadar bahwa kita tak mungkin bersatu dalam ikatan. Aku berharap kakang
memahami sikapku".
... Jamilah ...
Salimin mengambil pena dan menggoreskan jawaban.
"Jamilah, selemah apapun pria, dia ingin diperlakukan sebagai imam. Dan,
sekuat apapun wanita, dia ingin perlindungan karena itu fitrah penciptaan.
Semoga pria yg mendampingimu adalah imam dan pelindung yangg baik."
"Jamilah, setelah kekuatan Tuhan... kekuatan cintalah yangg terbesar. Tak
ada benteng yang dapat menahan hadirnya cinta. Setelah misteri kegaiban
Tuhan..., kegaiban cintalah yang paling misteri. Kita tak dapat menebak kepada
siapa kita akan jatuh cinta, dan sejak kapan tumbuhnya cinta."
"Jamilah... engkau adalah pengantinku di alam spiritual. Engkau teramat
indah, seakan penciptaanmu engkau sendiri yang merancangnya sesuai
kehendakmu".
.... Salimin ....
Menjelang senja Salimin beranjak menembus gerimis yang menerpa wajahnya membuat
samar air mata Salimin yang bercucuran.
No comments :
Post a Comment